BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam, yang secara keilmuan lahir di kemudian hari melalui proses yang panjang dengan dinamikanya sendiri. Kelahirannya sebagai perwujudan dari pemahaman al-Qur'an dan al-Hadits, sesuai dengan konteks zamannya.
Ada tiga ajaran pokok tasawuf, yakni tentang Tuhan, manusia dan dunia. Ketiga-tiganya mempunyai hubungan sistemik. Tuhan itu Ruhani Yang Maha Suci, oleh karena itu yang dapat mendekati dan mengenal-Nya ialah ruh (instuisi) manusia yang suci dari hal-hal yang mengotorinya. Dengan demikian diperlukan upaya pembersihan diri.
Secara essensial tasawuf mempunyai ajaran sosial, seperti al-Futuwwah (sikap kepahlawanan) dan al-Itsar (sikap mementingkan orang lain). Sikap eksklusif dan penarikan diri dari keramaian dunia pada masa awal pembentukan tasawuf bisa diberi makna sebagai sikap kepedulian sosial dan merupakan proses secara passip terhadap ketimpangan sosial dan politik pada waktu itu.
Tanggung jawab sosial tasawuf pada masa sekarang (kontemporer) tidak lagi hanya bersifat passip sebagaimana pada masa awal tasawuf, namun pada abad XXI tasawuf dituntut untuk bersikap aktif dalam memecahkan semua problema kehidupan modern, seperti kehampaan spiritual, dekadensi moral, persoalan politik, pluralisme, khususnya pluralisme agama, dan tanggung jawab intelektual
.
Dengan latar belakang tersebut, maka dipandang perlu untuk mengaktualkan ajaran tasawuf sesuai dengan tuntutan zamannya. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam Bab II Pembahasan.
B. Rumusan Masalah
Dari Pendahuluan di atas, dapat ditarik permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan tasawuf di zaman kontemporer?
2. Bagaimana tanggung jawab sosial tasawuf pada masa sekarang (kontemporer)?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Tasawuf di zaman kontemporer
Tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembahasan spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Dan ini merupakan pegangan hidup manusia yang paling ampuh, sehingga tidak terombang-ambingkan oleh badai kehidupan ini. Ia menjadi penuntun hidup bermoral, sehingga dapat menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi ini.
Kembali kepada sejarah bahwa lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam – diawali (secara internal) dari ketidakpuasan terhadap praktek Islam yang cendrung formalisme dan legalisme, dan juga sebagai reaksi terhadap ketimpangan politik, moral, dan ekonomi di kalangan umat Silam, khususnya di kalangan penguasa. Pada saat dmeikian tasawuf tampil memberikan solusi.
Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualitasi ritual, pembenahan dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Sedangkan reaksi terhadap sikap politik, penguasa dan ekonomi sebagai akibat diraihnya kemakmuran, yang menimbulkan sikap kefoya-foyaan materiil, adalah dengan penampakan sikap isolasi diri dari hiruk pikuknya kehidupan yang berorientasi dunawi, dan menanamkan sikap sedia miskin.
Gerakan tersebut di satu sisi bisa dikatakan sebagai reaksi sosial, dan di sisi lain bisa dikatakan sebagai tanggung jawab sosial. Gerakan seperti ini adalah cocok pada masa itu, namun pada masa sekarang perlu dipertanyakan.
Sebenarnya gerakan seperti tersebut merupakan gerakan individual. Padahal pengingkaran kekayaan adalah tidak mungkin, tidak praktis dan hanya bersifat individual. Desakan etika mencari yang halal untuk melegitimasikan kemiskinan itu adalah sikap ketidakberdayaan kaum tertindas sebagai keompensasi atas penderitaan dari dua hal, materialisme dan spitirtualisme.
Ketika hal ini dibicarakan, maka akan teringat pendapat Emile Durkheim, bahwa pemikiran dan perkembangan pribadi tidak bisa terlepas sama sekali dari setting sosialnya (Doyle, Paul Johasan, 1994, Emile Durkheim, 1993)
Tasawuf pada masa sekarang mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat dari pada masa lalu. Untuk memberi jawaban bagaimana tanggung jawab sosial tasawuf pada zaman modern ini, maka terlebih dahulu akan diketengahkan bagaimana ciri masyarakat modern itu.
Masyarakat modern ditandai oleh lima ciri pokok, yakni:
1. Berkembangnya massa culture.
2. Tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak, manusia bergerak menuju perubahan masa depan.
3. Tumbuhnya kecenderungan berpikir rasional.
4. Tumbuhnya sikap hidup yang materialistik.
5. Meningkatnya laju urbanisasi. (Atha' Muzhar, 1993).
B. Tanggung jawab sosial tasawuf pada masa sekarang (kontemporer)
1. Tanggung jawab spiritual
Husen Nasr dalam "Islam and tha Pligh of Modern Man" menyatakan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan, hidup dalam keadaan sekuler. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang dikatakan the Post Industrial Society telah kehilangan visi keilahian (Komaruddin).
Kehilangan visi keilahian ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni adanya kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat nasionalisme tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu Ilahi.
Melihat gejala manusia modern yang penuh problema tersebut, Husen Nasr, seorang ulama' Iran menawarkan alternatif terapi agar mereka mendalami dan menjalankan praktek tasawuf. Sebab tasawuflah yang dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka. Dalam pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaan itu tidak dapat tercapai secara optimal jika hanya dicari dalam kehidupan lahir.
Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan manusia, seperti introspeksi (muhasabah) baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah vertikal maupun horizontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik.
2. Tanggung jawab Etik
Sebagai akibat modenisasi dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah al-hirsh, al-hasud dan riya'.
Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan mengadakan penghayatan atas keimanan dan ibadahnya, mengadakan latihan secara bersungguh-sungguh, berusaha merubah sifat-sifatnya itu dengan mencari waktu yang tepat.
Memang diakui oleh para ahli tasawuf, bahwa manusia dalam kehidupanmya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya. Agar hawa nafsu seseorang dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).
3. Tanggung jawab Politik
Tasawuf pada masa sekarang tidak lagi menjauhi kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi klasik. Akan tetapi tampil di tengah-tengah percaturan politik dan masuk ke dalam "kekuasaan". Sebab menjauhinya menunjukkan ketidakberdayaan dan kelemahan. Apabila pada masa klasik ada fatwa untuk menjauhi dan bersikap oposan terhadap kekuasaan, hal itu sedikit bisa dibenarkan karena kekuasaan pada waktu itu bersifat individual, sementara itu kini kekuasaan bersifat kolektif.
4. Tanggung jawab Pluralisme Agama
Satu hal lain yang menjadi kenyataan masyarakat dunia adalah masyarakat majemuk (plural), yakni masyarakat yang beraneka ragam, baik agama, suku, daerah, adat istiadat, maupun yang lainnya.
Pluralitas masyarakat modern dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sebab telah menjadi sunnatullah, tidak ada hidup tanpa pluralitas dalam arti antar umat. Dan dalam pengertian yang sudah luas lagi, pluralitas dalam berbagai bidang pun tidak bisa dipungkiri lagi, seperti ras, suku, watak, dan sebagainya. Di sini tasawuf akan melihat hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang berasal-usul satu, yakni Adam a.s.
Khusus mengenai pluralitas agama, disebutkan dalam al-Qur'an bahwa kebenaran universal yang tunggal bagi semua ajaran agama ialah prinsip tauhid, yaitu pengesaan Tuhan dan kesatuan umat (Q.S. al-Anbiya' : 92). Prinsip inilah yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah SWT. Karena prinsip ajaran mereka sama, maka para pengikut semua Nabi dan Rasul itu adalah umat yang satu atau tunggal. Dengan kata lain, konsep kesatuan dasar ajaran membawa konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, kemudian membawa kepada kesatuan umat yang beriman.
Konsep tauhid mempunyai implikasi praktis dalam bermuamalah, yakni keharusan menyadari adanya berbagai perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu sebenarnya tidak perlu dipertentangkan, akan tetapi diambil makna positifnya yang dalam al-Qur'an dinyatakan agar dijadikan alat pembeda dan justru dengan itu akan mudah mengenal satu sama lain dengan identitas yang dimilikinya.
5. Tanggung jawab Intelektual
Tuntutan yang muncul dari akibat modernisasi dan industrialisasi tersebut, ialah pengembangan kemampuan intelektual muslim sehingga memiliki kemampuan dialogis dan fungsional terhadap perkembangan IPTEK.
Secara epistimologis tasawuf memakai methode intuitif, yang pada abad ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dan rasionalisme dan empirisme dan membantunya untuk melakukan terobosan baru dalam berbagai hal.
Diakui bahwa intuisi itu berbeda, karena akal maupun indera merupakan insturmen yang lebih berkompeten untuk menghadapi obyek-obyek materi serta hubungan-hubungan kuantitatif.
David Truebood menjelaskan, paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi agar kebenaran pengetahuan intuitif ini dapat diterima, di antaranya :
1. Moralitas subyek
2. Akal sehat
3. Keahlian subyek secara tepat. Jika demikian, maka tasawuf bukan lagi menjadi tempat pelarian bagi sementara orang, namun merupakan suatu keniscayaan yang sungguh perlu diperhatikan oleh semua orang. Dan ketika itu, tasawuf akan eksis di tengah-tengah percaturan dunia modern. Dan di sinilah letak peranan dan tanggung jawab sosialnya.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya.
Tasawuf pada masa sekarang (kontemporer) mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat dari pada masa lalu, karena kondisi dan situasinya lebih kompleks, sehingga refleksinya bisa berbeda.
Untuk memberi jawaban bagaimana tanggung jawab sosial tasawuf pada zaman sekarang ini, maka terlebih dahulu akan diketengahkan bagaimana ciri masyarakat modern itu.
Ciri-ciri pokok masyarakat modern ditandai oleh:
· Berkembangnya massa culture.
· Tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak, manusia bergerak menuju perubahan masa depan.
· Tumbuhnya kecenderungan berpikir rasional.
· Tumbuhnya sikap hidup yang materialistik.
· Meningkatnya laju urbanisasi.
Tanggung jawab sosial tasawuf pada masa sekarang yaitu:
· Tanggung Jawab Spiritual
· Tanggung Jawab Etik
· Tanggung Jawab Politik
· Tanggung Jawab Pluralisme Agama
· Tanggung Jawab Intelektual
Tasawuf bukan lagi menjadi tempat pelarian bagi sementara orang, namun merupakan suatu keniscayaan yang sungguh perlu diperhatikan oleh semua orang. Dan ketika itu, tasawuf akan eksis di tengah-tengah percaturan dunia modern. Dan di sinilah letak peranan dan tanggung jawab sosialnya.
B. Penutup
Demikain makalah tasawuf yang dapat penulis sajikan. Semoga pembahasan yang telah penulis paparkan di atas dapat bermanfaat bagi para pembaca. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekeliruan atau kesalahan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran akan selalu penulis nantikan guna perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar. Glagah, Yogyakarta, 1999. Atha Muzhar, Guru Pendidikan Agama Islam dan Perspektif Tantangan Hidup Beragama di Masa Depan. Balai Pustaka, Semarang, 1993.
|